Di banyak wilayah pesisir Indonesia, aktivitas melaut bukan sekadar rutinitas ekonomi—ia adalah laku budaya yang penuh makna. Sebelum perahu menembus ombak pertama, para pelaut dari berbagai suku seperti Bugis, Bajo, Mandar, atau pesisir Jawa melakukan ritual melaut yang diwariskan turun-temurun. Ritual ini bukan hanya sarat spiritualitas, tapi juga menjadi simbol kehormatan, harapan keselamatan, dan penghormatan terhadap alam semesta.
Dalam tradisi pelaut Indonesia, laut dianggap sebagai ruang hidup yang memiliki kekuatan gaib dan harus dihormati. Oleh karena itu, sebelum keberangkatan, dilakukan berbagai bentuk doa, sesaji, hingga upacara adat yang melibatkan keluarga, tokoh adat, bahkan seluruh kampung. Ritual ini tak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga mengingatkan manusia untuk tidak bersikap angkuh terhadap alam.
Telusuri ragam ritual melaut yang ada di berbagai wilayah Indonesia! Kita juga akan bahas makna mendalamnya, yang jadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya maritim kita.
Sejarah Ritual Melaut di Nusantara
1. Mapasakang (Bugis-Makassar)
Di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan Makassar menjalankan ritual mapasakang sebelum berlayar jauh. Ritual ini melibatkan doa bersama, pemberian sesaji seperti nasi kuning, ayam panggang, dan sirih-pinang, yang diletakkan di haluan perahu. Mapasakang dipercaya untuk menolak bala dan memohon keselamatan serta hasil laut yang melimpah. Proses ini dilakukan dengan khidmat dan dipimpin oleh tokoh adat atau imam kampung, menandakan bahwa pelayaran adalah keputusan yang menyangkut keselamatan bersama.
2. Mappanretasi (Mandar)

Mappanretasi secara harfiah berarti “memberi makan laut.” Masyarakat Mandar di Sulawesi Barat menggelar ritual ini dengan melempar sesaji ke laut dalam bentuk makanan, kepala kerbau, atau hasil bumi. Mappanretasi dilakukan secara kolektif di pinggir pantai, disertai doa, musik tradisional, hingga pertunjukan budaya seperti tari dan pantun laut. Ritual ini bukan hanya ungkapan syukur dan permohonan perlindungan, tapi juga wadah solidaritas antar nelayan, serta pengingat akan peran laut sebagai sumber kehidupan.
3. Ritual Pabbaro (Bajo)
Suku Bajo, yang dikenal sebagai “pengembara laut,” memiliki ritual pabbaro sebagai bentuk spiritualitas sebelum berlayar jauh. Dalam ritual ini, perahu diperciki air yang telah didoakan, kemenyan dibakar, dan bunga ditabur ke permukaan laut sebagai simbol penghormatan terhadap penjaga alam. Pabbaro menandakan bahwa pelaut Bajo tidak sekadar menjelajahi laut, tetapi turut menjaga hubungan harmonis dengan entitas tak kasatmata yang diyakini mendiami perairan tersebut.
4. Sedekah Laut (Pantura Jawa)

Sedekah laut di pesisir utara Jawa seperti Jepara, Pekalongan, hingga Cirebon, dilaksanakan dengan prosesi besar. Kepala kerbau yang dihias, hasil bumi, dan replika perahu kecil diarak dalam iring-iringan budaya menuju laut. Diiringi gamelan, wayang, dan syair tradisional, masyarakat menghanyutkan sesaji sebagai bentuk syukur dan harapan keselamatan. Tradisi ini memperlihatkan bagaimana spiritualitas, seni, dan ekonomi masyarakat pesisir terjalin dalam satu harmoni yang sarat simbol.
5. Sasi Laut (Maluku dan Papua)

Sasi adalah bentuk kearifan lokal yang membatasi eksploitasi laut secara adat. Sebelum masa pelarangan dibuka, masyarakat menggelar upacara pembukaan laut. Ritual ini melibatkan pengucapan janji kolektif, pengibaran bendera adat, dan pemanjatan doa agar laut kembali memberikan berkah. Sasi tidak hanya menjaga keberlanjutan ekosistem, tetapi juga memperkuat rasa tanggung jawab kolektif serta menegaskan posisi pemimpin adat sebagai penjaga harmoni antara manusia dan alam.
Ragam ritual melaut ini menunjukkan bahwa pelayaran bukan sekadar soal arah dan angin, tapi juga kesadaran akan batas, etika, dan keseimbangan hidup bersama alam. Praktik ini menyatukan nilai spiritual, kultural, dan ekologis dalam satu ruang: laut sebagai sumber, saksi, dan tempat kembali.
Transformasi dan Pelestarian Ritual Melaut
Meski masih dijalankan di sejumlah wilayah, ritual melaut kini menghadapi tantangan besar dari perubahan zaman. Modernisasi alat tangkap, tekanan ekonomi, hingga hilangnya regenerasi tokoh adat membuat sebagian tradisi ini perlahan memudar. Di beberapa tempat, ritual hanya dijalankan secara simbolis atau disederhanakan dalam bentuk festival pariwisata.
Namun, tidak sedikit pula komunitas pesisir yang berusaha mempertahankan nilai-nilai asli ritual ini. Mereka melibatkan anak muda dalam proses upacara, mendokumentasikan tradisi secara digital, hingga menjalin kerja sama dengan lembaga budaya dan pemerintah lokal. Upaya pelestarian ini bukan hanya soal menjaga seremoni, tapi mempertahankan cara pandang terhadap laut yang penuh rasa hormat dan tanggung jawab.
Ritual melaut yang diwariskan dari generasi ke generasi ini merupakan bagian penting dari identitas budaya pesisir. Melaluinya, masyarakat tidak hanya meneguhkan solidaritas, tetapi juga merawat hubungan manusia dengan alam yang telah menopang kehidupan mereka selama berabad-abad.
Warisan yang Harus Dijaga
Ritual melaut bukan sekadar warisan simbolik. Ia adalah jembatan nilai antara manusia dan laut—sebuah cara pandang yang memanusiakan alam sekaligus menghormatinya sebagai ruang sakral. Ketika teknologi mengambil alih banyak aspek pelayaran modern, nilai-nilai spiritual dan sosial dari ritual ini tak boleh ikut tenggelam.
Dengan mengenali dan menghargai ragam tradisi pelaut Indonesia, kita ikut menjaga keluhuran budaya maritim lokal. Karena laut bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang refleksi, warisan, dan identitas yang tak tergantikan.
Melestarikan ritual melaut adalah memastikan bahwa nilai-nilai keseimbangan, penghormatan, dan kebersamaan terus mengarungi zaman—sama seperti para pelaut leluhur kita yang tak pernah berlayar sendiri.