budaya bahari nusantara

Mengenal Tradisi Maritim Indonesia dari Timur ke Barat Nusantara

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sejarah panjang yang tak terpisahkan dari lautan. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 99.000 km, identitas bangsa ini dibentuk oleh tradisi maritim Indonesia yang begitu kuat dan beragam. Dalam laporan “The Ocean Economy in 2030” oleh OECD, disebutkan bahwa ekonomi kelautan dunia diperkirakan akan mencapai USD 3 triliun pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran sektor maritim, tidak hanya dalam ekonomi global tetapi juga dalam membentuk peradaban bangsa-bangsa pesisir, termasuk Indonesia.

Tradisi maritim Indonesia bukan sekadar warisan budaya, melainkan pilar penting dalam pembentukan jati diri bangsa. Dari Papua hingga Sumatra, budaya bahari nusantara berkembang dengan karakteristik lokal yang unik, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan maritim terkompleks di dunia. Kapal tradisional seperti perahu jukung dari Bali, perahu Sandeq dari Mandar, dan kapal phinisi dari Sulawesi Selatan adalah bukti konkret dari kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu dan cuaca samudra.

Menurut Dr. Dirhamsyah, pakar hukum laut Universitas Syiah Kuala, “Tradisi maritim Indonesia tidak hanya soal pelayaran, tetapi juga menyangkut tata ruang hidup, kedaulatan, hingga sistem ekonomi lokal yang berbasis laut.” Ini artinya, memahami budaya maritim bukanlah nostalgia romantis semata, melainkan sebuah urgensi di tengah tantangan kontemporer seperti perubahan iklim, eksploitasi laut, dan hilangnya pengetahuan tradisional.

Maka dari itu, dalam artikel ini kita akan menelusuri kekayaan budaya bahari Indonesia dari timur ke barat. Mengungkap bagaimana setiap daerah merawat tradisi lautnya, dan mengapa penting untuk melestarikan kapal tradisional sebagai bagian dari identitas serta ketahanan budaya nasional.

Artikel Lain : Aktivitas Wisata Laut Liburan Keluarga

Sejarah dan Akar Budaya Bahari Nusantara

Sejak era kerajaan maritim seperti Sriwijaya dan Majapahit, laut telah menjadi jalur perdagangan, ekspansi kekuasaan, serta sarana penyebaran budaya. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Indonesia sudah lama membangun sistem navigasi tradisional dan menciptakan kapal yang mampu mengarungi samudra luas. Tradisi pelaut Bugis dan Makassar dengan kapal pinisinya telah dikenal dunia sebagai simbol kejayaan bahari Nusantara.

Menurut catatan UNESCO, phinisi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia sejak 2017, sebuah penghargaan terhadap keahlian dan filosofi kehidupan yang tertanam dalam pembuatannya. Kapal ini bukan hanya alat transportasi, tapi juga lambang keterampilan, gotong royong, dan siklus hidup masyarakat pembuatnya.

Tantangan terhadap Tradisi Maritim Indonesia

Namun di tengah perkembangan zaman, budaya bahari nusantara menghadapi tantangan serius. Urbanisasi pesisir, eksploitasi sumber daya laut, hingga minimnya regenerasi keahlian membuat warisan budaya ini tergerus. Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2023) menyebutkan bahwa lebih dari 60% nelayan muda memilih beralih profesi ke sektor non-maritim, karena dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi.

Selain itu, perubahan iklim turut mengancam keseimbangan ekosistem laut, menyebabkan abrasi, dan merusak kawasan pemukiman tradisional. Di beberapa daerah seperti Kepulauan Kei dan Tanimbar, ritual laut yang dahulu menjadi bagian penting dari siklus hidup kini mulai ditinggalkan akibat modernisasi dan tekanan ekonomi.

Menurut Dr. Endra Kusuma dari BRIN, “Jika budaya bahari tidak ditopang oleh kebijakan adaptif dan dukungan masyarakat lokal, kita akan kehilangan bukan hanya praktik, tapi seluruh sistem pengetahuan yang telah teruji ratusan tahun.”

tradisi maritim indonesia
Tradisi Maritim Indonesia (Tempo.co)

Artikel Lain : Panduan Liburan Bahari Untuk Pemula

Strategi Pelestarian dan Revitalisasi

Berbagai pendekatan telah dicoba untuk melestarikan budaya bahari nusantara. Salah satunya adalah program revitalisasi pelabuhan rakyat dan dermaga tradisional yang dilakukan di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, dan Maluku. Pendekatan ini dikombinasikan dengan pelatihan pembuatan kapal tradisional, festival budaya laut, dan pendidikan bahari berbasis sekolah.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga telah mengembangkan kurikulum lokal berbasis budaya maritim di daerah pesisir. Sekolah-sekolah di Buton dan Fakfak, misalnya, kini menyisipkan materi tentang tradisi perahu, navigasi bintang, dan kearifan ekologi dalam pelajaran sehari-hari.

Program kolaboratif juga muncul dari komunitas akar rumput, seperti Yayasan Bahari Nusantara di Flores dan LSM Maritim Muda Indonesia di Kepulauan Seribu yang aktif mendokumentasikan lisan-lisan tua, teknik pelayaran tradisional, hingga cerita rakyat laut.

Inovasi dan Digitalisasi Budaya Bahari

Di tengah era digital, pelestarian budaya bahari tak bisa lepas dari teknologi. Berbagai inisiatif telah menggunakan media digital untuk memetakan, mengarsipkan, hingga mempromosikan budaya bahari ke tingkat global. Proyek digitalisasi kapal tradisional oleh Universitas Udayana, misalnya, telah menghasilkan model 3D dari puluhan jenis perahu lokal yang kini tersedia dalam platform terbuka.

Selain itu, aplikasi seperti “BahariKu” memungkinkan masyarakat untuk mengakses database budaya bahari Indonesia, termasuk audio narasi, video dokumenter, hingga peta interaktif lokasi budaya laut di berbagai provinsi.

Menurut Prof. Adriana Dwi dari Universitas Indonesia, “Digitalisasi bukan untuk menggantikan budaya lisan, tapi menjadikannya lebih lestari dan inklusif. Teknologi adalah jembatan antara generasi, bukan penghapus tradisi.”

kapal tradisional
Beberapa Kapal Tradisional (Freepik)

Bugis, Ternate, dan Mentawai

Di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis dan Makassar terus mempertahankan pembuatan kapal phinisi secara turun-temurun. Dengan pendekatan berbasis komunitas, mereka tidak hanya menjual kapal, tapi juga paket pengalaman budaya yang menarik wisatawan lokal dan mancanegara. Ini membuktikan bahwa tradisi bisa bersinergi dengan ekonomi kreatif.

Di Ternate, Festival Legu Gam dan ritual adat nelayan menjadi ruang hidup bagi pelestarian budaya bahari Maluku. Keterlibatan anak muda dalam produksi film dokumenter dan seni pertunjukan telah menghidupkan kembali semangat komunitas maritim lokal.

Sementara di Kepulauan Mentawai, pendekatan antropologis dan ekowisata digunakan untuk menjaga relasi harmonis antara masyarakat adat dan lingkungan laut. Kapal tradisional dijadikan sarana edukasi sekaligus transportasi ramah lingkungan untuk wisata berbasis budaya.

Artikel Lain : 8 Resort Pinggir Laut Indonesia Terbaik

Simpulan

Dari timur ke barat Nusantara, tradisi maritim Indonesia merefleksikan kedalaman budaya yang tidak hanya melekat pada cara hidup masyarakat pesisir, tetapi juga pada struktur sosial, spiritualitas, hingga sistem ekonomi lokal. Temuan utama dalam pembahasan ini menegaskan bahwa budaya bahari nusantara merupakan warisan tak ternilai yang menghadapi tantangan berat di tengah modernisasi, perubahan iklim, dan pergeseran nilai generasi muda.

Pentingnya menjaga dan mengembangkan tradisi maritim Indonesia tidak bisa ditunda. Tradisi ini adalah pondasi historis yang menopang identitas nasional sebagai bangsa kepulauan. Melalui pelestarian kapal tradisional, penguatan pendidikan bahari, serta adaptasi teknologi digital, kita dapat memastikan bahwa budaya bahari tidak hanya menjadi kenangan, tetapi terus hidup dan relevan dalam konteks global.

Rekomendasi tindakan meliputi peningkatan integrasi budaya bahari dalam kurikulum pendidikan formal, penguatan kebijakan ekonomi berbasis maritim, dan dukungan terhadap komunitas lokal yang menjaga warisan lautnya. Pemerintah, akademisi, pelaku industri kreatif, dan generasi muda harus terlibat aktif dalam membangun ekosistem pelestarian yang kolaboratif dan berkelanjutan.

Seperti yang diungkapkan Prof. Adriana Dwi, “Melestarikan budaya maritim adalah tentang menghargai masa lalu untuk menata masa depan.” Dalam konteks inilah, pelestarian budaya bahari tidak hanya soal melindungi tradisi, tetapi juga tentang membangun arah baru yang lebih inklusif, adaptif, dan strategis bagi masa depan maritim Indonesia.

Kini, saatnya kembali menengok laut bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai cermin jati diri bangsa. Di balik ombak dan angin, tersimpan cerita-cerita leluhur yang menunggu untuk terus diceritakan ulang—bukan sebagai sejarah mati, melainkan sebagai inspirasi hidup yang terus bergerak.

Artikel Lain : 7 Destinasi Wisata Bahari Indonesia

albergolevoilier.com